Akhir-akhir
ini Sea Games menjadi trending topic dalam dunia maya maupun dalam dunia nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Sea Games adalah ajang olahraga yang diadakan
setiap dua tahun dan melibatkan 11 negara di Asia Tenggara. Dan kali ini
Indonesia mendapatkan sebuah kesempatan untuk menjadi tuan rumah bagi ajang bergengsi
ini. Kesempatan menjadi tuan rumah di ajang Sea Games ini dapat memberikan kita
pelajaran yang sangat besar yaitu dimana kita melatih atau merasakan sikap
kebanggaan kita terhadap Negara atau sikap nasionalisme. Dua hal yang berbeda
dari Sea Games dengan nasionalisme, Sea Games suatu ajang olahraga dan
nasionalisme adalah suatu paham semangat kebangsaan. Namun dari adanya Sea Games
dan kesempatan Indonesia menjadi tuan rumah ini merupakan salah satu cara kita
melihat sejauh mana rasa nasionalisme yang ada dalam diri kita.
Untuk
para atlet sendiri yang berlaga di Sea Games pun sebelum berlangsungnya event
tersebut telah dilatih mental oleh tentara Pasukan Komando Khusus (Pusdikpassus),
Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Untuk membangun rasa nasionalisme saat
berjuang di SEA Games 2011, atlet-atlet yang bakal berlomba mendapat pelatihan
fisik dan mental dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Para atlet tersebut,
tidak terkecuali para pesepakbola timnas U-23
mendapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara. Mereka diharapkan akan
tampil mati-matian untuk meraih gelar juara bagi Indonesia.
Namun
pertanyaannya adalah, apakah kita tetap bangga jika Indonesia sedang tidak
berlaga di ajang olahraga sejenis Sea Games ini? dan apakah kita tetap
mendukung Indonesia dengan semangat kebangsaan seperti saat Indonesia
bertanding melawan negara lain? Serta bagaimana mempertahankan sikap
nasionalisme itu ketika ajang seperti Sea Games ini berakhir?
Selama
17 kali keikutsertaan Indonesia di ajang Sea Games sejak tahun 1977,
Indonesia berhasil menyabet 9 kali predikat Juara umum, tiga di antaranya
diraih pada saat Indonedia sebagai tuan rumah. Yang terakhir dan sudah cukup
lama adalah pada Sea Games ke 19 yang dilangsungkan di Jakarta. Dari fakta
tersebut, Indonesia adalah sangat superior. Satu-satunya pesaing yang layak
diperhitungkan hanya Thailand.
Lalu
apa yang menyebabkan superior Indonesia terhenti sejak tahun 1997? Jawaban yang
paling gampang adalah karena situasi poltik di Indonesia yang sejak itu terus
bergejolak. Orde baru, dengan berbagai kekurangannya, berhasil menjaga
stabilitas politik di tanah air. Dominasi Golkar saat itu menyurutkan semangat
berpolitik. Jabatan bukanlah kursi panas seperti sekarang sehingga menteri di
bidang olah raga, pengurus Koni dan induk-induk cabang olah raga bisa
berkonsentrasi mengurus pekerjaannya tanpa diganggu berbagai kepentingan
politik.
Runtuhnya
Orde Baru pasca Sea Games 19 tahun 1997, kenyataannya telah mengurangi pamor
Indonesia di tingkat Asia tenggara. Pada saat stabilitas politik Indonesia
berada di titik nadir tahun 1999, Indonesia tidak mampu membuktikan sebagai
pemegang sejarah pekan olah raga terbesar di Asia tenggara ini meskipun
perhelatan acaranya dilaksanakan di Brunai Darussalam, yang lokasi geografisnya
berada di wilayah Indonesia.
Memang
untuk menjadi kampiun pada pesta olah raga terbesar di Asia Tenggara ini
dipengaruhi oleh banyak factor. Selain faktor internal berupa kesiapan
kontingen juga terdapat faktor ekseternal yaitu kemajuan olah raga dari
negara-negara tetangga yang menjadi peserta juga.
Kebetulan pesta olah raga dua tahunan ke 26
tahun 2011 kali ini dilangsungkan di Indonesia. Artinya semua faktor
keberuntungan sedang memihak Indonesia. Sebagai tuan rumah, tentunya Indonesia
bisa mengirimkan atlitnya paling banyak, juga untuk cabang olah raga yang akan
diikutinya, status tuan rumah juga tentunya akan memberi semangat lebih karena
akan mendapat dukungan suporter paling banyak.
Dalam pesta olah raga yang di langsungkan di Jakarta
dan Palembang ini, sepertinya tidak ada alasan bagi Indonesia gagal menempati
podium utama sebagai juara umum. Para penanggung jawab olah raga negeri yang
berpenduduk paling banyak di Asia Tenggara ini harus membuktikan bahwa
stabilitas politik tidak mengganggu kinerja mereka. Mari kita buktikan apakah
Menpora Andi Malarangeng lebih kompeten dari Hayono Isman (1993-1998), Akbar
Tanjung (1988-1993) dan Abdul Gafur (1978-1988) yang berhasil memenangi event-event itu secara beruntun atau sebaliknya.
Mudah-mudahan saja bau politik yang sudah
berhembus jauh-jauh hari sejak persiapan acara tersebut dapat dihapus dengan
mengalirnya emas ke pundi-pundi medali yang dapat mengantarkan Indonesia
menjadi juara umum, minimal untuk mengulang keberhasilan tahun 1997. Semoga….
Iki opo mas?
BalasHapus